Virtual Reality dan Pengaruhnya pada Gejala Depersonalisasi, Apa Itu?

Virtual Reality dan Pengaruhnya pada Gejala Depersonalisasi, Apa Itu?

Ada banyak manfaat baik yang bisa didapatkan dari penggunaan virtual reality. Teknologi ini mempermudah cara kerja manusia dalam kehidupan sehari-hari. Virtual reality atau virtual reality dapat membawa penggunanya masuk ke dalam realitas baru yang menakjubkan.

Pengalaman ini umumnya membutuhkan perangkat bantuan berupa headset virtual reality. Headset tersebut dapat menampilkan gambar dengan sudut 360 derajat, yang mampu meningkatkan pengalaman virtualmu.

Namun, tak dapat dipungkiri bahwa teknologi ini juga memilki kekurangan yang menyebabkan risiko kesehatan tertentu. Mata dapat terasa lelah jika terlalu lama menatap layar virtual. Tak hanya itu, perasaan atau gejala kehilangan realitas dan isolasi setelah berinteraksi dengan dunia buatan juga mungkin terjadi.

Bahkan, gejala depersonalisasi dan derealisasi bisa dialami oleh pengguna. Artikel ini akan membahas kaitan virtual reality dan depersonalisasi. Baca lebih lanjut untuk ketahui informasinya!

Apa itu virtual reality?

Apa itu virtual reality
Sumber foto:  JESHOOTS.COM

Realitas virtual adalah teknologi yang membuat penggunanya dapat berinteraksi dengan lingkungan hasil simulasi komputer. Berbeda dengan realitas buatan tradisional, virtual reality memiliki lingkup 360 derajat dan terasa sangat nyata dan imersif.

Virtual reality hanya dapat diakses melalui perangkat tertentu, seperti headset virtual reality. Berkat pengalaman yang terasa nyata dan imersif, virtual reality digunakan pada berbagai macam industri. Salah satu industri yang marak menggunakan virtual reality adalah industri game.

Dampak virtual reality, gangguan depersonalisasi dan derealisasi?

Dampak virtual reality, gangguan depersonalisasi dan derealisasi?
Sumber foto: Damir Samatkulov

Jurnal Computers in Human Behavior menemukan bagaimana virtual reality dapat memengaruhi respon indera seseorang terhadap lingkungan nyata. Niclas Braun selaku kepala kelompok riset Virtual Reality Therapy and Medical Technology di University of Bonn menyampaikan bahwa virtual reality memang dapat mempengaruhi pengalaman realitas seseorang.

Pasalnya, virtual reality juga bisa berdampak pada pengalaman realitas pengguna terhadap dunia nyata. Dalam pencarian singkat melalui internet, Braun menemukan fakta bahwa pengguna game virtual reality mengaku mengalami gejala disosiatif dan keterasingan.

Hal ini ada kaitannya dengan konsumsi konten virtual reality yang cukup lama. Fakta inilah yang mendorong penelitian lebih lanjut terkait gejala depersonalisasi dan derealisasi akibat virtual reality.

Baca juga: Mengenal Sejarah Virtual Reality dalam Industri Gaming (Game VR)

Pengertian gangguan depersonalisasi dan derealisasi

gejala depersonalisasi
Sumber foto: Uploadvirtual reality

Virtual reality dapat memicu gejala depersonalisasi. Apakah itu? Gangguan depersonalisasi dan derealisasi (DPDR) merupakan kondisi kesehatan mental yang menyebabkan penderita merasa berada di luar tubuh secara terus-menerus.

Perasaan ini menyebabkan seolah hal yang ada dalam dilingkungan sekitar terasa tidak nyata. Perasaan seperti mimpi ini tentunya dapat mengganggu kejiwaan seseorang. Apabila sudah parah, gangguan ini dapat menurunkan kinerja dalam pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. 

Gejala depersonalisasi biasanya meliputi perasaan seolah tidak memiliki diri yang sebenarnya, mati rasa dalam pikiran, tidak bisa mengendalikan perkataan, hingga kesulitan mengaitkan emosi dan ingatan. Sementara itu, gejala derealisasi mencakup kesulitan mengenali lingkungan, perasaan seperti bermimpi, merasa lingkungan tidak nyata, dan mengalami distorsi waktu. 

Penyebab gangguan depersonalisasi dan derealisasi

Sumber foto: Uploadvirtual reality
Sumber foto:  christopher lemercier

Dilansir dari Mayo Clinic, gangguan depersonalisasi dan derealisasi terjadi saat kamu merasa berada di luar tubuh dan melihat diri sendiri dari luar tubuh. Hal ini terjadi secara berulang atau persisten terjadi. Merasa hal di sekitarmu tidak nyata juga termasuk gejala depersonalisasi dan derealisasi.

Penyebab pasti gangguan depersonalisasi dan derealisasi sampai saat ini belum dimengerti sepenuhnya. Beberapa orang lebih rentan mengalami gangguan depersonalisasi dan derealisasi dibanding yang lainnya. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan.

Faktor stres yang tinggi juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan ini. Kejadian atau pengalaman yang menyebabkan stres tinggi atau trauma, pada dasarnya, bisa menyebabkan episode gangguan depersonalisasi dan derealisasi terjadi.

Baca juga: Bahaya Virtual Reality untuk Anak-Anak yang Harus Kamu Ketahui!

Faktor resiko  gangguan depersonalisasi dan derealisasi

Faktor resiko  gangguan depersonalisasi dan derealisasi
Sumber foto: Claudia Wolff

Ada beberapa hal yang menyebabkan orang lebih rentan terkena gangguan kesehatan yang satu ini. Salah satunya adalah kepribadian menghindar. Kepribadian menghindar yang dimaksud adalah kecenderungan menghindari situasi sulit atau kesulitan beradaptasi dengan situasi sulit.

Trauma berat juga menjadi salah satu faktor lainnya. Trauma berat yang dialami saat masa kanak-kanak maupun saat dewasa membuat seseorang lebih rentan terkena gangguan depersonalisasi dan derealisasi.

Selain itu, stres berat dan penyakit kesehatan mental seperti gangguan depresi dan gangguan kecemasan bisa memicu depersonalisasi dan derealisasi terjadi.

Yang jarang dibicarakan adalah penggunaan obat-obatan secara rekreasional atau tanpa resep dokter. Selain berbahaya, kegiatan ini bisa memicu episode depersonalisasi atau derealisasi.

Baca juga: Cara Cegah Mabuk Pasca Penggunaan Kacamata Virtual Reality

Gejala gangguan depersonalisasi dan derealisasi

Gejala gangguan depersonalisasi dan derealisasi
Sumber foto: Christopher Ott

Gejala depersonalisasi dan derealisasi memang mirip, tapi memiliki perbedaan. Depersonalisasi membuat penderitanya merasa berada di luar tubuh, atau merasa melihat tubuh sendiri dari luar. Diskoneksi, atau merasa tidak memiliki kontrol terhadap tubuh juga menjadi salah atu gejalanya.

Penderita pun mungkin merasakan distorsi pada perasaan dan pengelihatan, seperti merasa kepala membesar, atau kepala terasa dibalut kapas. Hal ini biasanya dibarengi dengan rasa apatis.

Gejala derealisasi sedikit mirip dengan perbedaan. Gejala derealisasi meliputi, tapi tidak terbatas pada sulitnya membangun koneksi emosional dengan orang lain, merasa berada di dunia lain–seperti berada di alam mimpi atau dalam film, atau lingkungan yang terasa terdistorsi dan buram.

Selain itu, ada pula distorsi terhadap persepsi waktu. Penderita merasa kejadian yang baru terjadi seperti telah terjadi di masa lalu. Tak jarang, persepsi terhadap jarak atau bentuk objek di sekitar pun terpengaruh.

Penelitian mengenai virtual reality dan gangguan depersonalisasi dan derealisasi

Penelitian mengenai virtual reality dan gangguan depersonalisasi dan derealisasi
Sumber foto: Futurity

Braun melibatkan 80 peserta yang terbebas dari gangguan kejiwaan maupun neurologis dalam penelitiannya. Peserta diajak memainkan game The Elder Scrolls V: Skyrim dengan menggunakan PC biasa dan headset virtual reality.

Peneliti memperhatikan efek yang pengguna rasakan sebelum permainan dimulai, sesaat setelah bermain game, efek setelah satu hari hingga satu minggu kemudian. Respon emosional, rasa mabuk atau pusing akibat virtual reality, serta persepsi realitas setelah bermain game juga dinilai.

Berdasarkan percobaan ini, Braun menemukan bahwa gejala depersonalisasi dan derealisasi cenderung lebih tinggi sesaat setelah peserta memainkan game. Peningkatan yang lebih besar ditemukan pada pemain yang menggunakan perangkat virtual reality.

Baca juga: Mengenal Jenis Virtual Reality Berdasarkan Device & Penerapannya di Perusahaan

Dalam setengah jam saja, pengguna virtual reality sudah bisa merasakan gejala ringan. Namun, untuk melihat dampak negatif jangka panjang akibat penggunaan virtual reality ini membutuhkan penyelidikan yang lebih lanjut ya. 

Terlebih, penelitian ini hanya dilakukan dengan satu jenis game pada individu yang sehat saja. Tentu penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih baik.

Cara mencegah gangguan depersonalisasi dan dearelisasi

Cara mencegah gangguan depersonalisasi dan dearelisasi
Sumber foto: Katerina May

Menurut penelitian dari National Alliance on Mental Illness atau NAMI, setidaknya 75% populasi pernah mengalami gangguan depersonalisasi. 2% di antaranya mengalami episode yang lebih sering. 

Gejala depersonalisasi dan derealisasi memang bisa mengganggu kehidupan sehari-hari, tapi bukan berarti gangguan kesehatan ini tidak bisa diatasi. Salah satunya adalah menjaga level stres sehari-hari atau menemui tenaga medis profesional untuk penanganan yang lebih spesifik dan disesuaikan dengan keadaanmu.

Ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan untuk mencegah gangguan kesehatan yang satu ini. Kuncinya adalah menjaga perasaan dan pikiran tetap stabil. Kegiatan yang bisa kamu coba antara lain:

  1. Menerima perasaanmu sendiri apa adanya
  2. Latihan bernafas panjang
  3. Mendengarkan musik favorit
  4. Membaca buku dengan genre kesukaan
  5. Menelepon teman atau keluarga yang bisa dipercaya
  6. Olahraga teratur
  7. Mempelajari gejala depersonalisasi dan derealisasi

Kapan harus menemui dokter?

Sesekali merasakan depersonalisasi dan derealisasi adalah hal yang wajar, kamu tidak perlu khawatir karena banyak orang juga mengalaminya. Namun, saat perasaan derealisasi dan depersonalisasi terus berlanjut bukan hal yang baik.

Jika gejala depersonalisasi dan derealisasi terasa intens dan sering terjadi, ini bisa menjadi tanda bahaya. Terlebih jika dibarengi perasaan diskoneksi dengan lingkungan sekitar dan distorsi terhadap persepsi waktu atau lingkungan.

Gejala yang terus berlanjut bisa jadi merupakan tanda-tanda masalah kesehatan fisik atau kesehatan mental. Jika kamu mengalami depersonalisasi dan derealisasi disertai hal berikut, disarankan untuk menemui tenaga medis profesional:

  1. Gejala yang terasa intens dan mengganggu
  2. Gejala tidak hilang atau sering kambuh
  3. Gejala mengganggu kegiatan sehari-hari, pekerjaan, juga hubungan dengan orang-orang di sekitarmu

Itulah dampak virtual reality dalam menyebabkan gangguan depersonalisasi dan derealisasii. Meski memiliki manfaat yang beragam, penggunaan teknologi tetap harus diawasi. Penggunaan berlebih dapat menyebabkan banyak risiko yang tidak baik bagi kesehatan.

Jangan lupa untuk mengutamakan istirahat dan kesehatan. Jangan sampai karena sibuk bekerja atau bermain game, malah membuatmu jatuh sakit.

Masih banyak informasi lainnya seputar teknologi di smarteye.id. Cari tahu informasi menarik tentang virtual reality, augmented reality, metaverse, atau mixed reality di blog smarteye.id!

Alyssa Sachan

Alyssa Sachan